Durgandini alias Dewi Setyawati, adik kembar Durgandana adalah putri Prabu Basuparicara dari Kerajaan Wirata. Walaupun cantik, tubuhnya berbau busuk dan anyir. Karena baunya yang tidak sedap itulah ia disebut Dewi Lara Amis. Bau tubuh di kulitnya disebabkan karena ia dilahirkan oleh seekor ikan betina. Ikan itu merupakan penjelmaan seorang bidadari bernama Dewi Andrika, yang sedang terkena kutukan para dewa.
Karena bau tubuhnya terlalu menganggu lingkungan keraton, Prabu Basuparicara mengambil kebijaksaan untuk menitipkannya pada Dasabala, seorang pendayung perahu tambangan di Sungai Yamuna. Dasabala adalah orang yang belasan tahun sebelumnya dititipi bayi kembar oleh Dewi Adrika sesaat setelah dilahirkan, sebelum bidadari itu kembali ke kahyangan. Waktu menitipkan bayinya, Dewi Adrika berpesan agar membawa itu ke hadapan Prabu Basuparicara, raja Wirata.
Suatu saat bau tubuh dan penyakit kulit pada diri Durgandini dapat disembuhkan oleh Palasara, seorang brahmana muda. Peristiwa ini terjadi tatkala Begawan Palasara yang sedang berkelana, minta bantuan Durgandini untuk menyeberangkannya ke seberang sungai.
Di Perahu tambangan itu, Begawan Palasara menawarkan jasa untuk menyembuhkan penyakit kulit yang di derita Dewi Durgandini. Ternyata yang diderita Dewi Durgandini bukan penyakit biasa. Begitu Begawan Palasara mulai mengobatinya, penyakit itu melawan dan terjadilah perkelahian antara sang Begawan dengan penyakit itu.
Karena kesaktian Palasara, penyakit itu dapat dikalahkan dan menjelma menjadi sesosok manusia berkepala raksasa. Sedangkan perahu tambangan yang mereka tumpangi pecah menjadi dua, menjelma menjadi dua sosok pria. Kayu pendayungnya menjelma menjadi seorang wanita. Mereka berempat kemudian minta diakui sebagai anak Palasara. Oleh Begawan Palasara,makhluk yang terjelma dari penyakit Duragandini diberi nama Rajamala. Yang berasal dari pecahan perahu diberi nama Rupakenca dan Kencakarupa. Sedangkan yang berasal dari kayu pendayung diberi nama Dewi Rekatawati.
Keempatnya disuruh Palasara pergi ke Kerajaan Wirata untuk mengabdi pada raja negeri itu.
Sementara itu,setelah perahu tambangan itu pecah, Begawan Palasara dan Dewi Durgandini terdampar di sebuah pulau kecil di tengah Sungai Yamuna.
Kini, setelah hilang penyakitnya, selain berwajah cantik dan bertubuh indah, Durgandini juga memancarkan bau wangi yang menggairahkan setiap pria yang berada di dekatnya. Begitu harumnya bau tubuh Durgandini, sehingga wanita itu mendapatkan julukan Dewi Gandawati atau Sayojagahandi, yang artinya ‘wanita yang harum semerbak sampai tercium dari jarak seribu tombak’.
Di pulau terpencil itulah Dewi Durgandini serta Begawan Palasara kemudian memadu kasih dan beberapa bulan kemudian lahirlah seorang bayi yang diberi nama Abiyasa.
Setelah bayi itu lahir Dewi Durgandini kembali ke rumah Dasabala, yang selama ini dianggap sebagai ayah angkatnya. Sebelumnya, dengan kesaktian yang dimiliki nya, Begawan Palasara memulihkan tubuh Durgandini menjadi perawan lagi seperti semula. Sementara itu, bayi yang dilahirkannya diasuh dan dibesarkan oleh Palasara.
Beberapa tahun kemudian, Dewi Durgandini berjumpa dengan Prabu Sentanu yang tersesat ketika sedang berburu. Raja Astina yang telah lama menduda karena ditinggal pergi istrinya, Dewi Gangga, ini jatuh cinta pada Durgandini. Namun ketika Prabu Sentanu melamarnya, Dewi Durgandini mengajukan syarat. Ia bersedia diperistri Sentanu bilamana raja Astina itu mau berjanji, anak yang dilahirkan dari rahimnya kelak akan menjadi pewaris takhta Astina.
Bagi Prabu Sentanu, syarat itu tidak mungkin dipenuhinya, karena ia sudah mengangkat Dewabrata, anak tunggalnya dengan Dewi Gangga sebagai Putra mahkota.
Karena itu, dengan hati lara, Prabu Sentanu mengurungkan niatnya dan pulang ke Astina membawa kekecewaan. Sesampainya di Keraton Astina, Sang Prabu jatuh sakit. Keadaan seperti itu membuat Dewabrata bertanya-tanya dalam hatinya. Akhirnya, Dewabrata mendesak ayahnya untuk menceritakan mengapa kehilangan semangat hidup. Karena desakan anaknya, Prabu Sentanu akhirnya menceritakan seluruh pengalamannya mengenai perkenalannya dan lamarannya pada Dewi Durgandini.
Mendengar cerita ayahnya, Dewabrata segera menyanggupi akan melamarkan Dewi Durgandini untuk ayahnya, Putra Mahkota astina itu akhirnya berangkat menemui Dewi Durgandini. Kepada wanita cantik itu, Dewabrata menyatakan keikhlasannya untuk mundur dari kedudukannya sebagai Putra Mahkita Astina, sekaligus meminang Dewi Durgandini untkuk ayahnya.
Dengan pengorbanan Dewabrata itu, Prabu Santanu akhirnya menikah dengan Dewi Durgandini, pujaan hatinya. Namun walaupun telah resmi menjadi permaisuri dan telah dijanjikan putranya yang akan lahir kelak diangkat sebagai pewaris takhta, Dewi Durgandini belum puas. Ia mengingatkan anak tirinya, mungkin saja suatu saat kelak salah satu anak atau cucu Dewabrata akan menuntut haknya atas takhta Astina.
Untuk memuaskan hati ibu tirinya, Dewabrata lalu bersumpah, sejak saat itu ia tidak akan menyentuh wanita seumur hidupnya dan akan menjalani hidup sebagai ‘brahmacarya’. Dengan adanya sumpah ini, Dewi Durgandini tidak perlu lagi mengkhawatirkan kemungkinan adanya tuntutan anak cucu Dewabrata di kemudian hari.
Sumpah ini bukan hanya mengejutkan Prabu Sentanu, tetapi juga seisi alam, dan bahkan juga para dewa.
Dari perkawinannya dengan Prabu Sentanu, Dewi Durgandini mendapat dua orang putra, yang pertama bernama Citranggada alias Citragada alias Citrasena, yang kedua dinamakan Wicitrawirya alias Citrasoma. Seperti yang telah dijanjikan, ketika Prabu Sentanu meninggal, Citranggada baik takhta menggantikan ayahnya sebagai raja Astina.
Beberapa waktu kemudian terdengar berita adanya sayembara putri di kerajaan Giyantipura. Prabu Darmamuka, raja negeri itu mengumumkan,barangsiapa sanggup mengalahkan Walmuka dan Arimuka dalam perkelahian sampai mati, ia berhak memboyong tiga orang puterinya. Ketiga putri Prabu Darmamuka yaitu Dewi Amba, Ambika dan Ambalika sudah terkenal akan kecantikannya. Mendengar berita itu Dewi Durgandini menugasi Dewabrata agar mengikuti sayembara itu untuk mendapatkan jodoh bagi Prabu Citranggada. Dewabrata berhasil menunaikan tugasnya dengan baik. Namun akhirnya yang menikah dengan Prabu Citranggada hanya Dewi Ambika dan Ambalika, sedangkan Dewi Amba menolak.
Umur Prabu Citranggada ternyata tidak panjang, ketika Dewabrata sedang memimpin pasukan Astina untuk memperluas daerah jajahan, negerinya diserang oleh pasukan raksasa. Raja Raksasa itu tidak suka karena namanya, Citranggada disamai oleh Prabu Citranggada, raja Astina. Raja raksasa itu akhirnya berhasil membunuh Prabu Citranggada.
Sepeninggal Prabu Citranggada yang menjadi raja Astina adalah Wicitrawirya. Selain mewarisi takhta Astina, Wicitrawirya juga mewarisi kedua janda kakaknya. Namun anak bungsu Durgandini ini pun ternyata pendek umurnya. Ia meninggal tidak lama setelah menduduki singgasana Astina.
Dengan meninggalnya kedua puteranya, padahal keduanya belum sempat mendapat keturunan, Dewi Durgandini bingung. Satu-satunya keturunan Prabu Sentanu yang masih ada hanyalah Dewabrata. Tetapi anak tirinya itu telah terlanjur bersumpah tidak mau duduk di singgasana. Berkali-kali sudah Dewi Durgandini membujuk Dewabrata, tetapi tanpa hasil.
Akhirnya, karena Dewabrata tetap menolak menjadi raja, Dewi Durgandini menunjuk Abiyasa, anaknya yang lahir karena hubungannya dengan Begawan Palasara. Pada mulanya Aiyasa pun menolak penunjukkan itu. Selain merasa tidak berhak, sebenarnya Abiyasa lebih suka hidup sebagai pertapa. Baru setelah berulangkali membujuk, Abiyasa bersedia. Ia menjadi raja sekaligus juga memperistri kedua janda adik-adik tirinya.
Abiyasa lah yang meneruskan garis keturunan semua darah Barata dengan lahirnya Drestarastra, Pandu Dewanata dan Yama Widura. Dengan demikian Abiyasa adalah kakek para Kurawa dan Pandawa.
Dalam pewayangan Dewi Durgandini mencerminkan karakter wanita yang ambisius dan selalu berusaha dominan dalam keluarga dan lingkungannya. Dengan kecantikan yang dimilikinya, ia menemukan suaminya untuk menuruti ambisiusnya. Ia selalu berusaha memanfaatkan semua orang di sekelilingnya untuk memuaskan ambisinya. Dan ambisi Durgandini inilah yang sebenarnya membuahkan masakah besar bagi kerajaan Astina di kemudian hari.
Baratayuda, perang besar diantara keturunan Barata, tidak akan terjadi bilamana Dewi Durgandini bukan seorang wanita yang kelewat ambisius. Dewabrata, yang kemudian lebih dikenal dengan nama Bisma, tidak akan menjadi brahmacarya, seandainya ibu tirinya tidak ambisius.
Dalam pewayangan di Indonesia, terutama Wayang Kulit Purwa, cerita mengenai riwayat Dewi Durgandini lain lagi.
Menurut versi yang ini , setelah melahirkan Abiyasa di tengah pulau itu. Durgandini tidak dipulihkan keperawanannya, tidak pula dipulangkan ke rumah Dasabala. Putri cantik itu tetap mengikuti Begawan Palasara sebagaimana layaknya seorang istri selalu ikut suaminya.
Sesuai dengan perintah Batara Guru dan Batara Narada, Begawan Palasara dan Dewu Durgandini pergi ke hutan Gajahoya. Dengan kerja keras, Palasara membangun hutan itu menjadi sebuha negeri makmur yang dinamakan Astina. Di sana, Palasara menjadi raja dengan gelar Prabu Dipakiswara.
Belum lama Palasara menjadi raja, datanglah seorang pertapa muda dari negeri Talkanda bernama Sentanu. Tamu ini datang dengan membawa bayinya. Ia minta agar Dewi Durgandini mau membagi air susunya pada anaknya yang bernama Dewabrata itu. Prabu Dipakiswara dan Durgandini tidak berkeberatan. Namun ternyata bayi Dewabrata amat lahap. Akibatnya, Abiyasa sering tidak kebagian air susu ibunya.
Keadaan ini menyebabkan Prabu Dipakiswara dan Sentanu bertengkar. Karena masing-masing membela kepentingan anaknya, merekapun berperang tanding. Karena sama saktinya, sampai berhari-hari perang tanding berlangsung, belum ada yang kalah dan tak ada pula yang menang. Adu kesaktian diantara mereka menyebabkan kahyangan goncang. Batara Narada kemudian turun ke bumi untuk mendamaikan keduanya.
Palasara dinasihati bahwa menurut suratan dewa, Dewi Durgandini memang sudah merupakan jodoh bagi Sentanu. Demikian pula, kerajaan Astina yang dibangunnya dengan susah payah harus diserahkan kepada Sentanu. Tugas Palasara menurut Narada, hanyalah membangun negeri itu, bukan memerintah sebagai raja.
Karena para dewa yang berkehendak demikian, Begawan palasara mengalah dan menyerahkan istri dan kerajaannnya pada Sentanu . Pertapa muda itu lalu pulang ke pertapaan Sapta Arga bersama Abiyasa dalam gendongannya, yang ketika itu masih bayi.
Lanjutan kisah pewayangan ini sama dengan versi yang pertama, yakni kisah kitab Mahabarata.
Dewi Durgandini alias Setyawati, alias Lara Amis, alias Sayojanagandi berumur sangat panjang. Ia meninggal beberapa saat setelah kematian Prabu Pandu Dewanata. Waktu itu, empat puluh hari setelah selesai upacara pembakaran jenazah Pandu dan kematian Dewi Madrim yang ikut belapati. Begawan Abiyasa mengadakan acara sesaji pitretarpana guna melancarkan jalannya arwah Pandu dan Madrim.
Setelah selesai mengadakan sesaji itu, Abiayasa mengeluh pada Dewi Durgandini, bahwa menurut ramalan kematian Pandu merupakan awal dari perpecahan keluarga Barata. Hal itu sangat membuat sedih hari Dewi Durgandini. Wanita tua itu lalu menyatakan maksudnya untuk mencari kematian di hutan sambil memohon pada para dewa agar apa yang dikhawatirkan tidak terjadi. Niat Dewi Durgandini ini diikuti oleh kedua mantunya Dewi Ambika dan Ambalika. Ketiganya memasuki hutan lebat, berpuasa berhari-hari, berminggu-minggu, hingga kematian menjelang.
Namun, usaha dan permohonan mereka tidak berhasil. Keturunan Barata tetap terpecah dua yaitu Kurawa dan Pandawa.