Prabu Watugunung, putera Prabu Palindriya. Ibunya bernama Dewi Sinta ( bukan istri Ramawijaya ). Ketika sedang mengandung, Dewi Sinta minta cerai karena tidak mau dimadu dengan adiknya sendiri. Sejak pisah dengan suaminya, Dewi Sinta berkelana dari hutan ke hutan.
Dalam perjalanan Dewi Sinta melahirkan anak laki-laki, yang diberi nama jaka Buduk ( ada yang menyebut Raden Wudug ). Karena nakal, ketika kanak-kanak Jaka Buduk dipukul dengan centong nasi, sehingga kepala luka.
Ketika menginjak masa remaja Jaka Buduk pergi berkelana menambah pengalaman. Kaerna merasa namanya jelek, ia menggantinya dengan nama Radite. Karena kesaktiannya, Radite akhirnya menjadi raja di Gilingwesi dan bergelar Prabu Watugunung.
Bertahun-tahun kemudian, suatu saat ketika sedang berburu di hutan, Prabu Watugunung berjumpa dan langsung jatuh cinta dengan seorang wanita cantik yang kemudian menjadi istrinya. Perkawinan itu ternyata menghasilkan banyak anak, sampai jumlahnya mencapai 28 orang.
Suatu ketika, Prabu Watugunung minta pada permaisurinya agar mencarikan kutu di kepalanya. Sesaat kemudian, sang permaisuri kaget melihat cacat bekas luka di kepala suaminya. Ia lalu menanyakan asal-usul bekas luka itu kepada suaminya. Setelah Prabu Watugunung menceritakannya, sadarlah ia bahwa suaminya ini sebenarnya adalah anak kandungnya sendiri. Karena itu ia segera minta cerai.
Namun, Prabu Watugunung tidak mengabulkannya, karena amat cinta pada permaisurinya itu. Sang Prabu pun tidak yakin bahwa wanita cantik itu sebenarnya adalah ibu kandungnya. Karena itu sang permasuri mengajukan syarat; ia bersedia melayani Prabu Watugung sebagai istri, kalau sang Prabu juga mengambil tujuh bidadari sekaligus sebagai madunya.
Tanpa berpikir panjang, Prabu Watugunung menyanggupi dan berangkat ke kahyangan untuk memenuhi permintaan Dewi Shinta. Namun, pra dewa menolak lamaran Prabu Watugunung. Karena Prabu Watugunung memaksa, terjadilah peperangan. Para Dewa mengerahkan dorandara ( bala tentara kahyangan ) dipimpinnBatara Citrasena, Batara Citragada dan Batara Arjunawinanga. Ternyata dalam peperangan melawan para dewa itu, Prabu Watugunung dan anak buahnya lebih unggul.
Batara Guru yang mendapat laporan mengenai kekalahan para dewa segera memerintahkan menjemput Resi Satmata, titisan Wisnu yang sedang berkelana di dunia, untuk menghadapi Prabu Watugunung. Resi Satmata menyanggupinya dan mengajak putranya yang bernama Bambang Srigati, pertapa sakti itu kemudian berangkat ke kahyangan.
Sementara itu, karena sudah kewalahan, untuk menghindarkan kerusakan yang lebih parah, para dewa akhirnya terpaksa mengabulkan permintaan Prabu Watugunung. Ketujuh bidadari yang diminta diberikan.
Dengan puas Prabu Watugunung kembali ke dunia dengan memboyong tujuh bidadari cantik. Namun dalam perjalanan rombongan raja Gilingwesi itu bertemu dengan Resi Satmata dan Bambang Srigati. Keduanya meminta agar ketujuh bidadari itu dikembalikan ke kahyangan. Watugunung menolak, sehingga terjadilah pertarungan diantara mereka.
Ketika Prabu Watugunung akhirnya merasa kewalahan, ia melarikan diri dan kembali ke Gilingwesi. Namun Resi Satmata dan anaknya kemudian mengejar ke Gilingwengsi hingga akhirnya terjadi peperangan lagi. Akhirnya Watugunung tewas di hadapan para istri dan anak-anaknya. Melihat tewasnya sang Raja, Dewi Sinta dan anak-anaknya serentak melakukan upacara bela pati, bunuh diri ke dalam api pembakaran jenazah sang Prabu.
Dalam budaya Jawa, Prabu Watugunung, Dewi Sinta dan anak-anaknya digunakan sebagai nama-nama wuku, yakni serupa dengan zodiac pada astrologi barat.
Dan berikut ini adalah daftar nama-nama anak pasangan Watugunung dan Dewi Sinta :